PERSETUBUHAN
Juris Bramantyo
Aku bangun dengan linglung. Tak lagi di atas kasur, lantai dingin kamarku yang menyanggaku. Dengan susah payah aku bangun, tubuhku pegal sekali. Tubuhku gemetaran kedinginan.
“Arrrggghhhhh… Sial!” Umpatku dalam hati.
Keherananku makin menjadi, saat hampir terpeleset lantai yg basah tergenang. Parah! Atap pasti bocor lagi. Dan ternyata tubuhku basah, begitupun pakaianku.
***
Berkali-kali aku menguap. Setelah pulang lewat tengah malam dan di sambut hujan deras, aku makin tak bisa tidur. Suara-suara dari kamar sebelah membuatku terganggu. Sayup-sayup kudengar diantara derai hujan, desahan-desahan dan teriakan Reno.
Reno penghuni kost yang pendiam. Bahkan aku yang tetangga kamarnya hanya pernah beberapa kali bertegur sapa selama hamper setahun ini. Ngobrol sedikit lebih panjang seingatku tidak pernah.
Hal itulah yang membuatku heran. Tapi sudahlah, mungkin Reno sedang “menyelundupkan” pacarnya ke dalam kamar kost dan yang kudengar semalam adalah suara lenguh keenakan dan teriakan penuh nafsu saat mereka berhubungan. Bukan urusanku juga.
***
Sudah beberapa saat aku hanya diam di atas tempat tidur sambil menatap langit-langit dengan gamang. Tak nampak sejengkalpun bekas air di sana. Setitik noda pun tak ada. Semuanya bersih dan kering. Lalu dari mana semua air yang menggenang di lantai itu.
“Ah entahlah! Aku mau tidur lagi, tubuhku pegal!”
Sejurus kemudian, aku sudah menarik selimut hingga menutupi muka dan mencoba terlelap.
***
“Ya, halo..”, sejenak kemudian suara terburu-buru Sherly berhamburan di telepon.
“Wawancaranya diajukan siang ini, satu jam lagi kita ketemuan di lokasi. Ayo cepat, kita ga boleh kehilangan narasumber lagi kali ini, Ar. Go, go, go! ” Cerocosan Sherly hampir tanpa jeda.
Sekejap mata aku sudah mengobrak-ngabrik lemari, baju-baju jatuh berhamburan saat aku mencoba memilih satu saja yang pas untuk wawancara siang ini. Saat kurasa penampilanku cukup layak, segera kusambar tas kerja dan kunci mobil di atas meja. Lalu buru-buru keluar, mengunci kamar, dan berlari ke garasi.
“Bruuuukkkk!”
Sial, kudapati tubuhku terjerembab ke lantai.
“Siapa orang tolol yang menuang air keparat ini di lantai!” Aku mengumpat cukup keras, hingga pintu kamar di sebelahku terbuka.
“Kenapa mas Ardi?” Ternyata Reno. Baru kusadari aku berada di depan pintu kamarnya. Segera dia menolongku, membantuku berdiri.
“Arggh..!” Aku mengaduh dan merintih saat serbuan rasa sakit tiba-tiba muncul di kaki.
“Sepertinya keseleo mas..” ucap Reno sambil memeriksa pergelangan kakiku dan mulai melepaskan sepatuku.
“Sepertinya keseleo mas..” ucap Reno sambil memeriksa pergelangan kakiku dan mulai melepaskan sepatuku.
Setelah susah-payah sambil menahan rasa sakit, reno berhasil memapahku kembali ke dalam kamar.
Tiba-tiba aku ingat wawancara yang harus kukejar, kulirik jam tangan dan menyadari bahwa sekali lagi aku gagal berburu narasumber.
“Maksud kamu apa sih seenaknya buang-buang air di koridor kamar!” dengan kalap aku membentak Reno yang berusaha memijit pergelangan kakiku.
“Gara-gara kamu aku semua jadi berantakan!”
***
“Pak Budi, itu di depan kamar saya ada genangan air, tolong dibersihkan ya.” Akhirnya aku menemukan pembantu kost ku di dapur.
“Siap mas!” Pak Budi langsung keluar dari dapur dan melaksanakan perintahku.
AKu masih berdiam di dapur, bingung dengan semua kejadian ini. Belum lagi bentakan Ardi tadi juga makin menyadarkanku tentang semua keanehan ini. Memang aku hanya terdiam saat dia membentak-bentak sambil meringis kesakitan, tapi pikiran dan batinku terus berputar heran.
Air yang menggenang itu dari dalam kamarku, sama halnya dengan yang menggenangi kamar saat aku terbangun tadi pagi.
“Tapi bagaimana bisa begitu, siapa yang menyiram air, tak mungkin air bergerak sendiri kan?!” Aku bingung.
***
Sambil kesakitan aku hanya diam mendengar kemarahan Sherly di telepon. Ya ini salahku, dan akibatnya dia harus wawancara sendirian lagi. Ini kali ketiga dalam bulan ini, setelah tempo hari aku ketiduran, dan terjebak macet saat menuju lokasi. Sial!
***
Aku terbangun oleh suara petir dan hujan deras di luar. Kamar sudah gelap. Tertidur cukup lama ternyata. Kemudian kurasakan kakiku ngilu, dan seketika kejadian tadi siang teringat kembali.
Susah payah kugerakkan tubuhku ke kamar mandi. Mandi, kuharapkan bisa sedikit menyegarkan diri dan pikiranku.
“Ah…ah…ah..” terdengar samar-samar suara orang merintih kesakitan. Tapi itu pasti bukan rintihan pelan, mana mungkin terdengar dalam bising hujan.
“Suara siapa itu?” Batinku.
Sambil masih berlilit handuk , kubuka pintu kamar mencari arah suara itu.
“Jdheeeer…” gelegar petir disertai cerahnya kilat begitu terdengar.
Saat itulah kurasakan kakiku basah, air tergenang di teras depan kamarku. Pandangan mataku menyapu lantai, dan kusadari hal yang tak kusangka-sangka. Air mengalir dari kamar sebelah, dari kamar Reno.
Segera kuketuk pintu kamarnya, tak ada jawaban, tapi suara rintihan dan lenguhan makin kencang dan menjadi-jadi.
“Suara itu dari dalam kamar Reno!” pikirku. “Apa yang terjadi dengan Reno?” Pikiranku mulai dipenuhi kengerian.
Segera kuterobos pintu kamarnya yang tak terkuci. Aku pun melongo melihat pemandangan di depan mata. Sebuah hal yang tak kusangka.
Di sana, dalam kamar yang basah bagai banjir, kulihat hujan menerobos jendela. Bukan mengalir turun, tapi seperti sungai butir air yang mengalir dari luar kamar ke dalam. Di dekat jendela kulihat Reno telanjang, terbaring melayang bagai disangga air hujan.
Saat kilat sekali lagi menyambar kudengar Reno merintih dan setengah berteriak, bukan kesakitan kedengarannya. Suaranya seperti mencapai klimaks kepuasan. Saat itulah kusadari, Reno sedang disetubuhi hujan. Hujan bagai kedahsyatan yang yang memperkosanya.
“Arrgghhhhh…..” Tak kusangka, tetiba rintik hujan menyelubungiku. Aku seperti dijerat dan diseret. Kurasakan tubuhku melayang pelayan menuju jendela, mendekati tubuh Reno.
Aku terus meronta walau tak tahu harus melepaskan diri dari apa. Hujan ini seperti ingin memperlakuakanku dengan beringas. Pakaian ku seperti melucuti dirinya sendiri dari badanku. Dan hujan membekapku, memelukku.
Kurasakan tubuh kulit reno yg dingin menyentuh punggungku. Aku terhimpit antara Reno dan hujan keparat ini. Tak lama kemudian kurasakan sengatan nikmat. Kelaminku pun bersuka ria. Hujan menyetubuhi kami berdua.
No comments:
Post a Comment