AKU TAK PERNAH SENDIRI
Juris Bramantyo
“Ingatlah nak, kau tak akan pernah sendirian.”
Itulah pesan terakhir ibuku sebelum beliau meninggal. Beliau berpulang hanya dua minggu sebelum ulang tahun ku yang ke-13. Sejak itu aku tinggal dengan tante ku di Bandung. Ayah ku sudah lama tak kutemui. Aku masih saja kesal dan belum bisa menerima perceraiana nya dengan ibu, walaupun sudah lebih dari 3 tahun berlalu.
Aku benar-benar selalu memegang kata-kata terakhir ibu. Tak pernah aku merasa sendirian. Tidak di sekolah, tidak tidak di rumah tante, tidak dimanapun. Aku memang tak pernah takut dan yakin tak akan sendirian.
***
Pagi ini aku telat masuk sekolah. Dihukum guru membersihkan kamar mandi pun aku terima dengan senyuman. Tak sabar rasanya menunggu nanti malam. Lewat jam 12 malam, aku akan berusia 17 tahun. Artinya aku akan jadi wanita dewasa, bukan lagi anak sekolah ingusan. Aku bisa memutuskan hidupku sendiri.
Kuselesaikan hukuman itu secepatnya. Buru-buru setengah berlari-lari kecil aku ke toko mencari hadiah yang tepat buat diriku. Aku ingin member hadiah spesial untuk diriku, merayakan eksistensiku di semesta ini.
“Yang lebar ya pak”, kataku pada penjaga toko. Masih kurang yakin kusebut beberapa angka.
“1 x 2 meter”, dan hanya dibalas sang bapak penjaga toko dengan anggukan kepala.
“Pak, dibungkus yang rapi ya. Ini alamatnya.” Kataku sambil menyodorkan secarik kertas bertuliskan alamat rumah tante.
Dengan bersenandung kecil aku menuju ke toko kue. Telah kupecahkan celengan ayam ku demi membeli kue ulang tahun dan 17 batang lilin warna-warni. Saatnya pulang dan menunggu hari berganti.
***
Rumah sepi. Tante sekeluarga sedang berlibur di luar kota sampai mingu depan. Aku memang menjaga rumah seperti biasanya. Dengan gelisah kuikuti tiap gerakan jarum jam yang terasa lambat.
Masih jam 10 malam. Lama sekali rasanya, sampai-sampai aku ingin menggerakkan saja jarum-jarum jam payah itu agar segera mencapai angka 12.
Segera kulangkahkan kaki ke meja rias di pojok kamarku. Ku pulas pipi ku dengan bedak, kulapisi bibirku dengan lipstick, dan kurapikan rambutku. Ku sisir hingga halus lalu kuikat kuat. Lalu aku beranjak ke lemari, memilih gaun ku yang paling indah. Gaun putih yang agak kekecilan dengan renda di sekitar leher dan lengan.
***
Detik demi detik berlalu. Ada rasa senang yang menyesakkan dada. AKu makin tak sabar menunggu usia ku berganti. Menyandang gelar dewasa karena angka 17 itu. Kubersihkan tyempat tidurku. Kuletakkan kue ulang tahun berhias 17 batang lilin warna-warni di sana. Tak lupa kubuka bungkusan berisi hadiah yang telah diantar kurir dari toko tadi siang. Kuletakkan di atas lantai.
5 menit lagi. Kunyalakan lilin. Ke-tujuh-belas-nya sudah menari-nari indah dalam nyala yang berkelap-kerlip. Aku berdoa untuk ibu, hingga alarm yang kupasang berderik. Kutiup lilin-lilin itu, semua nya. Lalu aku beranjak ke lantai. Dengan sekali hentakan, aku merasakan perih, sekejap. Lalu gelap yang dating membahagiakan. Indah. Aku pun tersenyum.
***
Seminggu berlalu. Tante dan keluarga nya pulang. Lalu menjerit dan bergidik ngeri saat membuka kamarku. Yang lain muntah tak tahan melihat kengerian di depan mata.
Di lantai kamarku, di atas cermin berukuran 2 x 1 meter itu tergeletak tubuhku. Mulai membusuk dengan luka tusuk dan pisau masih menancap di perut dan darah kering kehitaman yang berkerak di kaca.
Itu aku yang terbaring di sana. Selamanya aku tak sendirian. Aku mati ditemani bayangan ku sendiri. Itulah kado ulang tahun terindah untuk diriku.
No comments:
Post a Comment