Selalu, setiap tahun nya mendekati 17 Agustus, pembahasan masalah nasionalisme menjadi makin gencar. Nasionalisme seakan segalanya, hingga masing-masing bagian dari dunia saya pun ikut terseret dalam raungan nasionalisme.
Mulai dari semangat nasionalisme anak muda yang katanya luntur, serentetan masalah bangsa yang tiba-tiba di-list rapi oleh orang-orang di social media, hingga omongan tentang fashion yang nasionalisme.
Lalu apa itu nasionalisme? Menurut Wikipedia,
Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris "nation") dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia.
Lalu ada satu kata lagi yang jarang diucapkan, namun punya sebatas garis tipis dengan nasionalisme. Chauvinisme! Apakah itu? Sekali lagi menurut Wikipedia,
Sauvinisme atau sovinisme (bahasa Inggris: chauvinism) adalah ajaran atau paham mengenai cinta tanah air dan bangsa (patriotisme) yang berlebihan [1]. Makna ini kemudian diperluas hingga mencakup fanatisme ekstrem dan tak berdasar terhadap suatu kelompok yang diikuti
Nah, kadang banyak orang (termasuk saya) sering tanpa sengaja menukar makna dan pengamalan dua kata di atas. Menurut hemat saya, Nasionalisme itu baik dan harus. Sedfangkan Chauvinisme ini seperti setan yang mengintai, sering kita menjalankan berdasarkan godaan nya tanpa sadar. Dan ya, ini tidak baik.
Masih ingat, beberapa waktu lalu, saya menulis status di sebuah akun social media, "Makan malam: spaghetti dan orange aquash.". lalu seperti biasa banyak bermunculan komen dari teman-teman sesama penghuni social media. Salah satunya membuat saya jengah. Teman saya itu berkomentar " Mana nasionalisme nya, sok kebarat-baratan. Mending makan PECEL!"
Hal-hal seperti di atas, mungkin tak sadar muncul tiap hari. Semakin dekat dengan 17an, makin sering hilir mudik, baik di kehidupan sehari-hari, juga di raah social media.
Orang-orang mulai berujar atau menulis " Tunjukkan nasionalisme lo, jangan tonton film asing!" atau "Ngapain makan di fast food kapitalis a la barat, mending tunjukin nasionalisme lo!"
Lalu saya mulai bertanya (sambil menyumpah serapah tentunya) "Apakah mereka benar-benar mudeng arti Nasionalisme? Atau jangan-jangan memang kami berbeda frekuensi soal kepemahaman ini."
Karena ini tulisan representasi diri saya, hal-hal yang mereka sebut nasionalis itu saya rasa lebih cocok dikategorikan dalam chauvinisme.
Nasionalisme itu memang tak cuma dalam hati, namun perlu dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, namun bukan berarti kita diperbudak oleh chauvinisme hingga lambat dalam memajukan bangsa dan negara ini karena terkungkung kefanatikan yang sempit.
Sama seperti tak mengunggah avatar bendera merah putih, bukan berarti saya tak mengibarkannya dengan bangga dalam hati.
Dirgahayu Republik Indonesia!
Merdeka!
No comments:
Post a Comment